Terik matahari di atas ubun-ubun hingga sinar rembulan
memberikan senyuman dan keindahan tak akan menghalangiku untuk berjalan
menapaki kehidupan ini. Dengan gitar tua warisan dari ayah, akan aku gunakan
untuk mengais rezeki di jalanan. Akan aku lentikkan senar gitar ini dengan
penuh keserasian hingga mereka yang mendengar merasa nyaman dan terhibur.
Mungkin inilah garisku. Bertopi lusuh, berpakaian kumal,
dengan membawa gitar dan berkeliling dari taman ke taman demi bertahan hidup. Karena
kini aku tinggal sendiri. Dua tahun yang lalu, ayah harus menghadap kepada Sang
Ilahi. Dan tiga bulan yang lalu, ibu pun dipanggil-Nya juga.
Malam minggu ini, giliran Taman Pelangi yang akan menjadi tempat
untuk mengais rezekiku, dengan lagu “Gelandangan” milik Bang Rhoma akan aku
nyanyikan. Dengan menatap cermin, aku berkata lantang. “Semangat, Alan!”
Aku pun keluar dari gubuk menuju Taman Pelangi yang berada di
tengah kota Surabaya. Sepertinya malam ini tampak ramai. Dengan hati senang aku
melangkah. Kuhampiri tiap orang yang duduk di taman. Wajah anak-anak, remaja,
bapak, ibu, semuanya berada di taman ini. Aku pun mulai bermain gitar, walaupun
di tengah malam namun cucuran keringat dalam tubuhku tak dapat tertahan. Energiku
mulai berkurang. Kuputuskan istirahat sejenak, duduk di bawah pohon rindang,
sambil memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Aku ditemani kepulan asap yang
kuhisap. Namun, pandanganku tertuju pada dua sosok wanita berkerudung biru muda
dan hijau pupus. Mereka duduk di bangku taman sebelah selatan yang berdekatan
dengan air mancur. Dua gelas minuman terhidang di meja depannya. Mereka
sepertinya sedang asyik bercengkerama.
Sepertinya mereka berdua itu mahasiswa. Aku pun tertarik
untuk mendekatinya, dengan memegang gitar kulangkahkan kaki ke arah mereka. Jarak
langkahku pun semakin dekat hingga terdengar olehku sayup-sayup suara lembut
yang mereka ucapkan.
“Salma, apa yang kau tahu tentang api?” Tanya wanita kerudung
biru muda.
Yang ditanya tertawa. “Winda,
kamu ini gimana toh? yang namanya api
itu ya api. Yang menyala ketika kita bermain korek, seperti orang disana itu.” Jawab
Salma sambil menunjuk orang yang sedang menghidupkan api untuk menyalakan rokok.
“Assalamu’alaikum….” Sapaku saat benar-benar menghampiri
mereka.
“Wa’alaikumsalam….” jawab mereka sambil menoleh ke arahku.
Salma dan Winda pun saling berpandang keheranan. Mungkin
karena pakaian yang menempel di badanku dan gitar yang aku bawa. “Teman kamu, Sal?”
tanya Winda.
“Bukan,” jawab Salma dengan menggeleng kepala.
“Maaf, Mbak, sebelumnya. Nama saya Alan. Saya salah satu
pengamen yang ada di sini.” Ujarku. Tampaknya, mereka agak ketakutan dan
mengiraku orang jahat. “Percayalah! saya bukan orang jahat, Mbak. Saya hanya
ingin berteman dan ingin ikut bercengkerama dengan kalian. Boleh, kan?”
pintaku.
Mereka pun saling berpandangan seakan meminta persetujuan. “Silakan!“
ucap Winda dengan ketus.
Aku pun duduk di
bangku depan mereka. Kupandangi taman yang penuh keindahan dengan gemerlapan
lampu serta gemericik air mancur membuat ketenangan tersendiri. Hembusan angin
mulai terasa, memberikan energi pada tubuh yang hingga tadi basah karena cucuran
keringat.
“Maaf, Mas! Kita belum kenalan. Nama saya Salma, dan sebelah
saya ini Winda.”
Aku pun mulai tersadar. “Oh, iya, Mbak. Maaf. Nama saya Alan.”
“Sal, kok aku di cuekin sih? Bagaimana api tadi?” sergah Winda.
“Sewot banget sih kamu, Win. Sebentar dulu, dong. Kenalan
dulu tuh sama Masnya! Masa tadi mempersilakan, sekarang kok dibiarin?” canda
salma. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua laksana bebek dengan
angsa. Satu cuek dan satunya suka bercanda.
Salma pun melihat aku tersenyum sendiri. “Mas, nggak apa-apa,
kan?” tanyanya sambil mengayunkan tangan.
“Oh, nggak apa-apa kok,” jawabku. Aku lirik Winda. Tampaknya
dia agak kesal terhadapku dan aku pun mencoba untuk menyapanya. “Maaf, Mbak Winda
kok sepertinya kurang senang, ya?” godaku.
“Sok tahu kamu!” ketusnya. Ia pun berdiri menarik lengan Salma
dan mengajaknya pergi.
“Ayo, Sal! Kita pindah tempat saja!”
Salma pun akhirnya mengikuti langkahnya. “Maaf, Mas!” ujar Salma
kepadaku.
“Tunggu, Mbak! Jangan lupa dengan apinya tadi.” Sindirku
sambil melambaikan tangan.
Winda pun menoleh ke arahku namun hanya sekadar saja.
“Lihat sajalah, Winda. Kamu pasti kembali lagi untuk mencari
apa itu api!” lirih hatiku.
Malam mulai petang. Kendaraan yang berlalu lalang kini mulai
sepi, dan gemerlapan lampu taman mulai mati. Aku pun segera kembali ke gubuk.
Matahari terus berputar pada porosnya, rembulan bersinar
dengan senyumnya. Kini tak terasa satu minggu telah kulewati, dan malam minggu
ini giliran Taman Bungkul sebagai tempat pengaisanku. Taman yang terkenal unik,
antara kebaikan dan kemaksiatan sejajar. Depan taman dan belakang sunan. Jika
taman tempat kesenangan, namun sunan tempat ritual, beribadah, mengambil berkah.
Sungguh aneh tapi nyata.
Dengan menenteng gitar, aku terus berputar mengelilingi taman
ini. Saat berada di tempat ayunan, aku melihat sosok gadis minggu lalu yang
berada di taman pelangi.
Mereka duduk di pohon rindang sebelah kanan ayunan anak-anak.
Aku pun mencoba menghampirinya. “Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam….” jawab mereka serentak dan menatap
wajahku kembali. “Mas yang kemarin di taman pelangi itu, ya?” tanya Salma
memastikan.
Aku pun tersenyum dan menjawab “Ya, Mbak. Benar!”
Winda hanya diam. “Silakan, Mas! Duduk saja di situ.” Ajak Salma.
Kok dari tadi Salma yang bicara, kenapa gak Winda saja? “Ngomong-ngomong,
masih bahas api, ya?” ujarku.
Kali ini, Winda agaknya penasaran dan mau bicara. “Emang Mas tahu, apa
api itu?”
“Sebelumnya saya minta maaf, karena mungkin pengetahuan saya
masih tak sebanding dengan kalian.”
“Sudahlah, Mas. To the
point aja, gak usah merendah gitu!” sergah Salma.
Aku pun menenggak kopi di tanganku. “Sepengetahuan saya, api
itu filosofinya banyak, Mbak. Ada yang menggunakannya sebagai simbol, ada yang
memaknai sebagai kehidupan, dan lainnya.” Kuambil rokok dari saku dan menghisapnya.
“Maaf Mbak jika kurang berkenan.”
“Tidak apa,” singkat Winda. “Terus menurut Anda bagaimana?”
tanyanya lebih antusias.
“Santai, Mbak. Silakan meminum es-nya terlebih dahulu.
Jadi begini. Ketika saya mengamen di Masjid Nasional Al-Akbar
Surabaya, saya bertemu dengan seorang
mahasiswa filsafat. Yang menarik dari mahasiswa ini, ia sangat cerdas memaknai
tiap kata. Salah satunya seperti yang Mbak bahas tadi, yakni kata api.
Katanya, jangan jadikan api itu hanya suatu ungkapan dan
simbol saja, tapi jadikanlah setiap huruf dalam api itu sebagai makna hidup
saat ini, esok maupun kelak. Mahasiswa tadi bilang, saat ini API bermakna Aku
Penuntut Ilmu. Karena menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim.
Dalam Al-qur’an Surat Al Mujadalah ayat 11, diterangkan bahwa orang yang
berilmu itu akan di tinggikan derajatnya.
Sebenarnya banyak ayat yang menjelaskan tentang ilmu, tetapi
yang umum digunakan adalah ayat di atas.
Winda dan Salma hanya menggeleng-geleng dan menatapku dengan
saksama.
“Waduh, kok pada manatap saya begitu? Jadi GR
sendiri...hahaha,” candaku.
“Teruskan, Mas.” Seru salma.
“Kalau terus ya nabrak, Mbak. Hehehe. Baiklah, hadits riwayat
Ibnu Majah mengatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim lelaki
dan Muslim perempuan.”
“Terus untuk yang esok itu maksudnya bagaimana, Mas?” tanya Winda
dengan penuh penasaran.
“Santai dulu aja, Mbak,” kubelikan mereka camilan kacang. “Kalau
yang esok, API itu maknanya Aku Penegak Islam.”
“Kok bisa?” sergah Winda dan Salma bersama.
“Mahasiswa itu berkata, dengan Aku Penegak Islam, maka ia
bisa menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Dalam Al-qur’an Surat Ali Imron ayat 110, diterangkan perintah ma’ruf dan
mencegah mungkar, dan hadist riwayat Muslim mengatakan bahwa siapa saja yang
mengajak kepada kebenaran, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang
mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang mengajak kepada
kesesatan, maka ia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tanpa
dikurangi sedikitpun.
Sekarang ini, banyak beridentitas islam tetapi sholat tak
mereka kerjakan, puasa tak mereka lakukan, zakat terus mereka abaikan. Padahal
semua itu adalah sebagian dari rukun islam. Mahasiswa tadi berkeinginan menuntut
ilmu terlebih dahulu, bersosialisasi di kampus, hingga bisa berguna di
masyarakat.
”Ooo, begitu tho ceritanya, mahasiswa itu pasti luar biasa mas?”
tanya Salma.
“Benar. Subhanallaah.” Saat itulah aku melihat Winda dengan
lesung pipi dan senyuman yang mempesona.
“Yang terakhir, Aku Pemimpin Islam. Maksudnya, kelak manusia
di alam akhirat akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, khususnya memimpin
diri sendiri.
“Mengapa kok kelak, sekarang kan juga bisa?” sergah winda.
“Menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah. Walaupun memimpin
diri kita sendiri, kita harus mengerti ilmu pemimpin, harus tanggung jawab, harus
berani menegakkan kebenaran. Dalam surat Al
Baqarah ayat 30, di terangkan bahwa
sesungguhnya kita hidup di dunia ini sebagai khalifah atau pemimpin, pemimpin
bagi diri kita sendiri, dan pemimpin bagi keluarga, dan pemimpin bagi
sekitarnya Makanya mahasiswa tadi meletakkannya setelah saat ini dan
esok, karena ia ingin menjadi pemimpin yang sesungguhnya.
Mereka berdecak kagum. “Mudah-mudahan kelak pemimpin rumah
tanggaku seperti mahasiswa tersebut.” Lirih Winda.
“Wah, jatuh cinta nih yee….”
“Ih! cuma kagum dan berdoa saja kok, Sal.”
Malam semakin larut. Keheningan mulai tampak. Hembusan angin
sepoi mulai terasa. Suara binatang malam mulai datang.
Aku tumpahkan uang ke dalam cangkir, aku hitung rejeki hari
ini. Winda dan Salma terus bercanda dan mataku tak jarang mencuri pandang wajah
si Winda. Pipi lesungnya sangat manis. Senyuman yang tak dapat terungkap oleh
kata-kata, hingga akhirnya selesai menghitung rejekiku.
“Maaf, saya pamit dulu. Salam kenal, khususnya buat Mbak Winda.”
Gombalku.
Pipi Winda merah. “Sampai ketemu lagi. Terima kasih banyak Mas
sudah memberikan wawasan API untuk kami.”
“Iya, Mas, Terima kasih banyak. Apalagi bersama pengamen yang
lumayan cakep seperti ini. Hehehe,” ucap Salma.
“Huss! Nggak sopan! Maaf ya, Mas.” Sahut Winda.
“Ah, nggak apa-apa kok, Mbak! mari semuanya, assalamu’alaikum”
aku berdiri dan mengambil gitar, namun sebelum aku balik badan, aku curi
pandangan ke Winda dan berkedip salah satu mata. Ia pun tersenyum, tersipu,
dengan terus melangkah aku meninggalkan taman ini, bintang dan rembulan sebagai
saksi antara aku dan bidadari. Sebelum hilang langkahku winda berteriak.
“Mas! Siapa nama Mahasiswa itu?”
“Muhammad Alan Firmansyah” jawabku singkat.
“Astaga!”
Ia pun kaget, dan aku terus melangkah untuk kembali ke gubuk,
dengan sinar bintang penuh keindahan. Aku terus berjalan, hingga tiba di gubuk.
Kurebahkan tubuh di atas tikar, hingga mata sayu dan terpejam dalam kenangan
terindah.