Selasa, 08 April 2014

Saat Ini API, Besok API, Kelak pun API

Terik matahari di atas ubun-ubun hingga sinar rembulan memberikan senyuman dan keindahan tak akan menghalangiku untuk berjalan menapaki kehidupan ini. Dengan gitar tua warisan dari ayah, akan aku gunakan untuk mengais rezeki di jalanan. Akan aku lentikkan senar gitar ini dengan penuh keserasian hingga mereka yang mendengar merasa nyaman dan terhibur.
Mungkin inilah garisku. Bertopi lusuh, berpakaian kumal, dengan membawa gitar dan berkeliling dari taman ke taman demi bertahan hidup. Karena kini aku tinggal sendiri. Dua tahun yang lalu, ayah harus menghadap kepada Sang Ilahi. Dan tiga bulan yang lalu, ibu pun dipanggil-Nya juga.
Malam minggu ini, giliran Taman Pelangi yang akan menjadi tempat untuk mengais rezekiku, dengan lagu “Gelandangan” milik Bang Rhoma akan aku nyanyikan. Dengan menatap cermin, aku berkata lantang. “Semangat, Alan!”
Aku pun keluar dari gubuk menuju Taman Pelangi yang berada di tengah kota Surabaya. Sepertinya malam ini tampak ramai. Dengan hati senang aku melangkah. Kuhampiri tiap orang yang duduk di taman. Wajah anak-anak, remaja, bapak, ibu, semuanya berada di taman ini. Aku pun mulai bermain gitar, walaupun di tengah malam namun cucuran keringat dalam tubuhku tak dapat tertahan. Energiku mulai berkurang. Kuputuskan istirahat sejenak, duduk di bawah pohon rindang, sambil memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Aku ditemani kepulan asap yang kuhisap. Namun, pandanganku tertuju pada dua sosok wanita berkerudung biru muda dan hijau pupus. Mereka duduk di bangku taman sebelah selatan yang berdekatan dengan air mancur. Dua gelas minuman terhidang di meja depannya. Mereka sepertinya sedang asyik bercengkerama.
Sepertinya mereka berdua itu mahasiswa. Aku pun tertarik untuk mendekatinya, dengan memegang gitar kulangkahkan kaki ke arah mereka. Jarak langkahku pun semakin dekat hingga terdengar olehku sayup-sayup suara lembut yang mereka ucapkan.
“Salma, apa yang kau tahu tentang api?” Tanya wanita kerudung biru muda.
 Yang ditanya tertawa. “Winda, kamu ini gimana toh? yang namanya api itu ya api. Yang menyala ketika kita bermain korek, seperti orang disana itu.” Jawab Salma sambil menunjuk orang yang sedang menghidupkan api untuk menyalakan rokok.
“Assalamu’alaikum….” Sapaku saat benar-benar menghampiri mereka.
“Wa’alaikumsalam….” jawab mereka sambil menoleh ke arahku.
Salma dan Winda pun saling berpandang keheranan. Mungkin karena pakaian yang menempel di badanku dan gitar yang aku bawa. “Teman kamu, Sal?” tanya Winda.
“Bukan,” jawab Salma dengan menggeleng kepala.
“Maaf, Mbak, sebelumnya. Nama saya Alan. Saya salah satu pengamen yang ada di sini.” Ujarku. Tampaknya, mereka agak ketakutan dan mengiraku orang jahat. “Percayalah! saya bukan orang jahat, Mbak. Saya hanya ingin berteman dan ingin ikut bercengkerama dengan kalian. Boleh, kan?” pintaku.
Mereka pun saling berpandangan seakan meminta persetujuan. “Silakan!“ ucap Winda dengan ketus.
 Aku pun duduk di bangku depan mereka. Kupandangi taman yang penuh keindahan dengan gemerlapan lampu serta gemericik air mancur membuat ketenangan tersendiri. Hembusan angin mulai terasa, memberikan energi pada tubuh yang hingga tadi basah karena cucuran keringat.
“Maaf, Mas! Kita belum kenalan. Nama saya Salma, dan sebelah saya ini Winda.”
Aku pun mulai tersadar. “Oh, iya, Mbak. Maaf. Nama saya Alan.”
“Sal, kok aku di cuekin sih? Bagaimana api tadi?” sergah Winda.
“Sewot banget sih kamu, Win. Sebentar dulu, dong. Kenalan dulu tuh sama Masnya! Masa tadi mempersilakan, sekarang kok dibiarin?” canda salma. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua laksana bebek dengan angsa. Satu cuek dan satunya suka bercanda.
Salma pun melihat aku tersenyum sendiri. “Mas, nggak apa-apa, kan?” tanyanya sambil mengayunkan tangan.
“Oh, nggak apa-apa kok,” jawabku. Aku lirik Winda. Tampaknya dia agak kesal terhadapku dan aku pun mencoba untuk menyapanya. “Maaf, Mbak Winda kok sepertinya kurang senang, ya?” godaku.
“Sok tahu kamu!” ketusnya. Ia pun berdiri menarik lengan Salma dan mengajaknya pergi.
“Ayo, Sal! Kita pindah tempat saja!”
Salma pun akhirnya mengikuti langkahnya. “Maaf, Mas!” ujar Salma kepadaku.
“Tunggu, Mbak! Jangan lupa dengan apinya tadi.” Sindirku sambil melambaikan tangan.
Winda pun menoleh ke arahku namun hanya sekadar saja.
“Lihat sajalah, Winda. Kamu pasti kembali lagi untuk mencari apa itu api!” lirih hatiku.
Malam mulai petang. Kendaraan yang berlalu lalang kini mulai sepi, dan gemerlapan lampu taman mulai mati. Aku pun segera kembali ke gubuk.
Matahari terus berputar pada porosnya, rembulan bersinar dengan senyumnya. Kini tak terasa satu minggu telah kulewati, dan malam minggu ini giliran Taman Bungkul sebagai tempat pengaisanku. Taman yang terkenal unik, antara kebaikan dan kemaksiatan sejajar. Depan taman dan belakang sunan. Jika taman tempat kesenangan, namun sunan tempat ritual, beribadah, mengambil berkah. Sungguh aneh tapi nyata.
Dengan menenteng gitar, aku terus berputar mengelilingi taman ini. Saat berada di tempat ayunan, aku melihat sosok gadis minggu lalu yang berada di taman pelangi.
Mereka duduk di pohon rindang sebelah kanan ayunan anak-anak. Aku pun mencoba menghampirinya. “Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam….” jawab mereka serentak dan menatap wajahku kembali. “Mas yang kemarin di taman pelangi itu, ya?” tanya Salma memastikan.
Aku pun tersenyum dan menjawab “Ya, Mbak. Benar!”
Winda hanya diam. “Silakan, Mas! Duduk saja di situ.” Ajak Salma.
Kok dari tadi Salma yang bicara, kenapa gak Winda saja? “Ngomong-ngomong, masih bahas api, ya?” ujarku.
Kali ini, Winda agaknya  penasaran dan mau bicara. “Emang Mas tahu, apa api itu?”
“Sebelumnya saya minta maaf, karena mungkin pengetahuan saya masih tak sebanding dengan kalian.”
“Sudahlah, Mas. To the point aja, gak usah merendah gitu!” sergah Salma.
Aku pun menenggak kopi di tanganku. “Sepengetahuan saya, api itu filosofinya banyak, Mbak. Ada yang menggunakannya sebagai simbol, ada yang memaknai sebagai kehidupan, dan lainnya.” Kuambil rokok dari saku dan menghisapnya.
“Maaf Mbak jika kurang berkenan.”
“Tidak apa,” singkat Winda. “Terus menurut Anda bagaimana?” tanyanya lebih antusias.
“Santai, Mbak. Silakan meminum es-nya terlebih dahulu.
Jadi begini. Ketika saya mengamen di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, saya bertemu dengan  seorang mahasiswa filsafat. Yang menarik dari mahasiswa ini, ia sangat cerdas memaknai tiap kata. Salah satunya seperti yang Mbak bahas tadi, yakni kata api.
Katanya, jangan jadikan api itu hanya suatu ungkapan dan simbol saja, tapi jadikanlah setiap huruf dalam api itu sebagai makna hidup saat ini, esok maupun kelak. Mahasiswa tadi bilang, saat ini API bermakna Aku Penuntut Ilmu. Karena menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim. Dalam Al-qur’an Surat Al Mujadalah ayat 11, diterangkan bahwa orang yang berilmu itu akan di tinggikan derajatnya.
Sebenarnya banyak ayat yang menjelaskan tentang ilmu, tetapi yang umum digunakan adalah ayat di atas.
Winda dan Salma hanya menggeleng-geleng dan menatapku dengan saksama.
“Waduh, kok pada manatap saya begitu? Jadi GR sendiri...hahaha,” candaku.
“Teruskan, Mas.” Seru salma.
“Kalau terus ya nabrak, Mbak. Hehehe. Baiklah, hadits riwayat Ibnu Majah mengatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim lelaki dan Muslim perempuan.”
“Terus untuk yang esok itu maksudnya bagaimana, Mas?” tanya Winda dengan penuh penasaran.
“Santai dulu aja, Mbak,” kubelikan mereka camilan kacang. “Kalau yang esok, API itu maknanya Aku Penegak Islam.”
“Kok bisa?” sergah Winda dan Salma bersama.
“Mahasiswa itu berkata, dengan Aku Penegak Islam, maka ia bisa menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam Al-qur’an Surat Ali Imron ayat 110, diterangkan perintah ma’ruf dan mencegah mungkar, dan hadist riwayat Muslim mengatakan bahwa siapa saja yang mengajak kepada kebenaran, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tanpa dikurangi sedikitpun.
Sekarang ini, banyak beridentitas islam tetapi sholat tak mereka kerjakan, puasa tak mereka lakukan, zakat terus mereka abaikan. Padahal semua itu adalah sebagian dari rukun islam. Mahasiswa tadi berkeinginan menuntut ilmu terlebih dahulu, bersosialisasi di kampus, hingga bisa berguna di masyarakat.
”Ooo, begitu tho ceritanya, mahasiswa itu pasti luar biasa mas?” tanya Salma.
“Benar. Subhanallaah.” Saat itulah aku melihat Winda dengan lesung pipi dan senyuman yang mempesona.
“Yang terakhir, Aku Pemimpin Islam. Maksudnya, kelak manusia di alam akhirat akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, khususnya memimpin diri sendiri.
“Mengapa kok kelak, sekarang kan juga bisa?” sergah winda.
“Menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah. Walaupun memimpin diri kita sendiri, kita harus mengerti ilmu pemimpin, harus tanggung jawab, harus berani menegakkan kebenaran. Dalam surat Al Baqarah ayat 30, di terangkan  bahwa sesungguhnya kita hidup di dunia ini sebagai khalifah atau pemimpin, pemimpin bagi diri kita sendiri, dan pemimpin bagi keluarga, dan pemimpin bagi sekitarnya Makanya mahasiswa tadi meletakkannya setelah saat ini dan esok, karena ia ingin menjadi pemimpin yang sesungguhnya.
Mereka berdecak kagum. “Mudah-mudahan kelak pemimpin rumah tanggaku seperti mahasiswa tersebut.” Lirih Winda.
“Wah, jatuh cinta nih yee….”
“Ih! cuma kagum dan berdoa saja kok, Sal.”
Malam semakin larut. Keheningan mulai tampak. Hembusan angin sepoi mulai terasa. Suara binatang malam mulai datang.
Aku tumpahkan uang ke dalam cangkir, aku hitung rejeki hari ini. Winda dan Salma terus bercanda dan mataku tak jarang mencuri pandang wajah si Winda. Pipi lesungnya sangat manis. Senyuman yang tak dapat terungkap oleh kata-kata, hingga akhirnya selesai menghitung rejekiku.
“Maaf, saya pamit dulu. Salam kenal, khususnya buat Mbak Winda.” Gombalku.
Pipi Winda merah. “Sampai ketemu lagi. Terima kasih banyak Mas sudah memberikan wawasan API untuk kami.”
“Iya, Mas, Terima kasih banyak. Apalagi bersama pengamen yang lumayan cakep seperti ini. Hehehe,” ucap Salma.
“Huss! Nggak sopan! Maaf ya, Mas.” Sahut Winda.
“Ah, nggak apa-apa kok, Mbak! mari semuanya, assalamu’alaikum” aku berdiri dan mengambil gitar, namun sebelum aku balik badan, aku curi pandangan ke Winda dan berkedip salah satu mata. Ia pun tersenyum, tersipu, dengan terus melangkah aku meninggalkan taman ini, bintang dan rembulan sebagai saksi antara aku dan bidadari. Sebelum hilang langkahku winda berteriak.
“Mas! Siapa nama Mahasiswa itu?”
“Muhammad Alan Firmansyah” jawabku singkat.
“Astaga!”

Ia pun kaget, dan aku terus melangkah untuk kembali ke gubuk, dengan sinar bintang penuh keindahan. Aku terus berjalan, hingga tiba di gubuk. Kurebahkan tubuh di atas tikar, hingga mata sayu dan terpejam dalam kenangan terindah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar