Selasa, 08 April 2014

Saat Ini API, Besok API, Kelak pun API

Terik matahari di atas ubun-ubun hingga sinar rembulan memberikan senyuman dan keindahan tak akan menghalangiku untuk berjalan menapaki kehidupan ini. Dengan gitar tua warisan dari ayah, akan aku gunakan untuk mengais rezeki di jalanan. Akan aku lentikkan senar gitar ini dengan penuh keserasian hingga mereka yang mendengar merasa nyaman dan terhibur.
Mungkin inilah garisku. Bertopi lusuh, berpakaian kumal, dengan membawa gitar dan berkeliling dari taman ke taman demi bertahan hidup. Karena kini aku tinggal sendiri. Dua tahun yang lalu, ayah harus menghadap kepada Sang Ilahi. Dan tiga bulan yang lalu, ibu pun dipanggil-Nya juga.
Malam minggu ini, giliran Taman Pelangi yang akan menjadi tempat untuk mengais rezekiku, dengan lagu “Gelandangan” milik Bang Rhoma akan aku nyanyikan. Dengan menatap cermin, aku berkata lantang. “Semangat, Alan!”
Aku pun keluar dari gubuk menuju Taman Pelangi yang berada di tengah kota Surabaya. Sepertinya malam ini tampak ramai. Dengan hati senang aku melangkah. Kuhampiri tiap orang yang duduk di taman. Wajah anak-anak, remaja, bapak, ibu, semuanya berada di taman ini. Aku pun mulai bermain gitar, walaupun di tengah malam namun cucuran keringat dalam tubuhku tak dapat tertahan. Energiku mulai berkurang. Kuputuskan istirahat sejenak, duduk di bawah pohon rindang, sambil memandangi kendaraan yang berlalu lalang. Aku ditemani kepulan asap yang kuhisap. Namun, pandanganku tertuju pada dua sosok wanita berkerudung biru muda dan hijau pupus. Mereka duduk di bangku taman sebelah selatan yang berdekatan dengan air mancur. Dua gelas minuman terhidang di meja depannya. Mereka sepertinya sedang asyik bercengkerama.
Sepertinya mereka berdua itu mahasiswa. Aku pun tertarik untuk mendekatinya, dengan memegang gitar kulangkahkan kaki ke arah mereka. Jarak langkahku pun semakin dekat hingga terdengar olehku sayup-sayup suara lembut yang mereka ucapkan.
“Salma, apa yang kau tahu tentang api?” Tanya wanita kerudung biru muda.
 Yang ditanya tertawa. “Winda, kamu ini gimana toh? yang namanya api itu ya api. Yang menyala ketika kita bermain korek, seperti orang disana itu.” Jawab Salma sambil menunjuk orang yang sedang menghidupkan api untuk menyalakan rokok.
“Assalamu’alaikum….” Sapaku saat benar-benar menghampiri mereka.
“Wa’alaikumsalam….” jawab mereka sambil menoleh ke arahku.
Salma dan Winda pun saling berpandang keheranan. Mungkin karena pakaian yang menempel di badanku dan gitar yang aku bawa. “Teman kamu, Sal?” tanya Winda.
“Bukan,” jawab Salma dengan menggeleng kepala.
“Maaf, Mbak, sebelumnya. Nama saya Alan. Saya salah satu pengamen yang ada di sini.” Ujarku. Tampaknya, mereka agak ketakutan dan mengiraku orang jahat. “Percayalah! saya bukan orang jahat, Mbak. Saya hanya ingin berteman dan ingin ikut bercengkerama dengan kalian. Boleh, kan?” pintaku.
Mereka pun saling berpandangan seakan meminta persetujuan. “Silakan!“ ucap Winda dengan ketus.
 Aku pun duduk di bangku depan mereka. Kupandangi taman yang penuh keindahan dengan gemerlapan lampu serta gemericik air mancur membuat ketenangan tersendiri. Hembusan angin mulai terasa, memberikan energi pada tubuh yang hingga tadi basah karena cucuran keringat.
“Maaf, Mas! Kita belum kenalan. Nama saya Salma, dan sebelah saya ini Winda.”
Aku pun mulai tersadar. “Oh, iya, Mbak. Maaf. Nama saya Alan.”
“Sal, kok aku di cuekin sih? Bagaimana api tadi?” sergah Winda.
“Sewot banget sih kamu, Win. Sebentar dulu, dong. Kenalan dulu tuh sama Masnya! Masa tadi mempersilakan, sekarang kok dibiarin?” canda salma. Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua laksana bebek dengan angsa. Satu cuek dan satunya suka bercanda.
Salma pun melihat aku tersenyum sendiri. “Mas, nggak apa-apa, kan?” tanyanya sambil mengayunkan tangan.
“Oh, nggak apa-apa kok,” jawabku. Aku lirik Winda. Tampaknya dia agak kesal terhadapku dan aku pun mencoba untuk menyapanya. “Maaf, Mbak Winda kok sepertinya kurang senang, ya?” godaku.
“Sok tahu kamu!” ketusnya. Ia pun berdiri menarik lengan Salma dan mengajaknya pergi.
“Ayo, Sal! Kita pindah tempat saja!”
Salma pun akhirnya mengikuti langkahnya. “Maaf, Mas!” ujar Salma kepadaku.
“Tunggu, Mbak! Jangan lupa dengan apinya tadi.” Sindirku sambil melambaikan tangan.
Winda pun menoleh ke arahku namun hanya sekadar saja.
“Lihat sajalah, Winda. Kamu pasti kembali lagi untuk mencari apa itu api!” lirih hatiku.
Malam mulai petang. Kendaraan yang berlalu lalang kini mulai sepi, dan gemerlapan lampu taman mulai mati. Aku pun segera kembali ke gubuk.
Matahari terus berputar pada porosnya, rembulan bersinar dengan senyumnya. Kini tak terasa satu minggu telah kulewati, dan malam minggu ini giliran Taman Bungkul sebagai tempat pengaisanku. Taman yang terkenal unik, antara kebaikan dan kemaksiatan sejajar. Depan taman dan belakang sunan. Jika taman tempat kesenangan, namun sunan tempat ritual, beribadah, mengambil berkah. Sungguh aneh tapi nyata.
Dengan menenteng gitar, aku terus berputar mengelilingi taman ini. Saat berada di tempat ayunan, aku melihat sosok gadis minggu lalu yang berada di taman pelangi.
Mereka duduk di pohon rindang sebelah kanan ayunan anak-anak. Aku pun mencoba menghampirinya. “Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikum salam….” jawab mereka serentak dan menatap wajahku kembali. “Mas yang kemarin di taman pelangi itu, ya?” tanya Salma memastikan.
Aku pun tersenyum dan menjawab “Ya, Mbak. Benar!”
Winda hanya diam. “Silakan, Mas! Duduk saja di situ.” Ajak Salma.
Kok dari tadi Salma yang bicara, kenapa gak Winda saja? “Ngomong-ngomong, masih bahas api, ya?” ujarku.
Kali ini, Winda agaknya  penasaran dan mau bicara. “Emang Mas tahu, apa api itu?”
“Sebelumnya saya minta maaf, karena mungkin pengetahuan saya masih tak sebanding dengan kalian.”
“Sudahlah, Mas. To the point aja, gak usah merendah gitu!” sergah Salma.
Aku pun menenggak kopi di tanganku. “Sepengetahuan saya, api itu filosofinya banyak, Mbak. Ada yang menggunakannya sebagai simbol, ada yang memaknai sebagai kehidupan, dan lainnya.” Kuambil rokok dari saku dan menghisapnya.
“Maaf Mbak jika kurang berkenan.”
“Tidak apa,” singkat Winda. “Terus menurut Anda bagaimana?” tanyanya lebih antusias.
“Santai, Mbak. Silakan meminum es-nya terlebih dahulu.
Jadi begini. Ketika saya mengamen di Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, saya bertemu dengan  seorang mahasiswa filsafat. Yang menarik dari mahasiswa ini, ia sangat cerdas memaknai tiap kata. Salah satunya seperti yang Mbak bahas tadi, yakni kata api.
Katanya, jangan jadikan api itu hanya suatu ungkapan dan simbol saja, tapi jadikanlah setiap huruf dalam api itu sebagai makna hidup saat ini, esok maupun kelak. Mahasiswa tadi bilang, saat ini API bermakna Aku Penuntut Ilmu. Karena menuntut ilmu adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim. Dalam Al-qur’an Surat Al Mujadalah ayat 11, diterangkan bahwa orang yang berilmu itu akan di tinggikan derajatnya.
Sebenarnya banyak ayat yang menjelaskan tentang ilmu, tetapi yang umum digunakan adalah ayat di atas.
Winda dan Salma hanya menggeleng-geleng dan menatapku dengan saksama.
“Waduh, kok pada manatap saya begitu? Jadi GR sendiri...hahaha,” candaku.
“Teruskan, Mas.” Seru salma.
“Kalau terus ya nabrak, Mbak. Hehehe. Baiklah, hadits riwayat Ibnu Majah mengatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim lelaki dan Muslim perempuan.”
“Terus untuk yang esok itu maksudnya bagaimana, Mas?” tanya Winda dengan penuh penasaran.
“Santai dulu aja, Mbak,” kubelikan mereka camilan kacang. “Kalau yang esok, API itu maknanya Aku Penegak Islam.”
“Kok bisa?” sergah Winda dan Salma bersama.
“Mahasiswa itu berkata, dengan Aku Penegak Islam, maka ia bisa menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam Al-qur’an Surat Ali Imron ayat 110, diterangkan perintah ma’ruf dan mencegah mungkar, dan hadist riwayat Muslim mengatakan bahwa siapa saja yang mengajak kepada kebenaran, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tanpa dikurangi sedikitpun.
Sekarang ini, banyak beridentitas islam tetapi sholat tak mereka kerjakan, puasa tak mereka lakukan, zakat terus mereka abaikan. Padahal semua itu adalah sebagian dari rukun islam. Mahasiswa tadi berkeinginan menuntut ilmu terlebih dahulu, bersosialisasi di kampus, hingga bisa berguna di masyarakat.
”Ooo, begitu tho ceritanya, mahasiswa itu pasti luar biasa mas?” tanya Salma.
“Benar. Subhanallaah.” Saat itulah aku melihat Winda dengan lesung pipi dan senyuman yang mempesona.
“Yang terakhir, Aku Pemimpin Islam. Maksudnya, kelak manusia di alam akhirat akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, khususnya memimpin diri sendiri.
“Mengapa kok kelak, sekarang kan juga bisa?” sergah winda.
“Menjadi seorang pemimpin itu tidak mudah. Walaupun memimpin diri kita sendiri, kita harus mengerti ilmu pemimpin, harus tanggung jawab, harus berani menegakkan kebenaran. Dalam surat Al Baqarah ayat 30, di terangkan  bahwa sesungguhnya kita hidup di dunia ini sebagai khalifah atau pemimpin, pemimpin bagi diri kita sendiri, dan pemimpin bagi keluarga, dan pemimpin bagi sekitarnya Makanya mahasiswa tadi meletakkannya setelah saat ini dan esok, karena ia ingin menjadi pemimpin yang sesungguhnya.
Mereka berdecak kagum. “Mudah-mudahan kelak pemimpin rumah tanggaku seperti mahasiswa tersebut.” Lirih Winda.
“Wah, jatuh cinta nih yee….”
“Ih! cuma kagum dan berdoa saja kok, Sal.”
Malam semakin larut. Keheningan mulai tampak. Hembusan angin sepoi mulai terasa. Suara binatang malam mulai datang.
Aku tumpahkan uang ke dalam cangkir, aku hitung rejeki hari ini. Winda dan Salma terus bercanda dan mataku tak jarang mencuri pandang wajah si Winda. Pipi lesungnya sangat manis. Senyuman yang tak dapat terungkap oleh kata-kata, hingga akhirnya selesai menghitung rejekiku.
“Maaf, saya pamit dulu. Salam kenal, khususnya buat Mbak Winda.” Gombalku.
Pipi Winda merah. “Sampai ketemu lagi. Terima kasih banyak Mas sudah memberikan wawasan API untuk kami.”
“Iya, Mas, Terima kasih banyak. Apalagi bersama pengamen yang lumayan cakep seperti ini. Hehehe,” ucap Salma.
“Huss! Nggak sopan! Maaf ya, Mas.” Sahut Winda.
“Ah, nggak apa-apa kok, Mbak! mari semuanya, assalamu’alaikum” aku berdiri dan mengambil gitar, namun sebelum aku balik badan, aku curi pandangan ke Winda dan berkedip salah satu mata. Ia pun tersenyum, tersipu, dengan terus melangkah aku meninggalkan taman ini, bintang dan rembulan sebagai saksi antara aku dan bidadari. Sebelum hilang langkahku winda berteriak.
“Mas! Siapa nama Mahasiswa itu?”
“Muhammad Alan Firmansyah” jawabku singkat.
“Astaga!”

Ia pun kaget, dan aku terus melangkah untuk kembali ke gubuk, dengan sinar bintang penuh keindahan. Aku terus berjalan, hingga tiba di gubuk. Kurebahkan tubuh di atas tikar, hingga mata sayu dan terpejam dalam kenangan terindah.

Bahasa

Bahasa adalah budaya, dalam setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda, jangankan antarnegara, antarkota saja banyak kita temukan bahasa yang berbeda-beda. Maka, sangatlah penting menguasai bahasa orang lain dengan bahasa.
Tidak asing lagi bagi kita menemukan orang madura dengan gaya bahasa yang khas dan mempunyai karakter yang sangat luar biasa, bahkan tak banyak dari orang madura ketika berbahasa indonesia dapat terdeteksi oleh yang mendengarnya bahwa dia orang madura, hal ini disebabkan logat/dialek mereka yang sangat unik sehingga mempunyai kesan tersendiri.
Daerah yang terkenal dengan sebutan 35 (telok lemak) ini mampu memberikan cerminan bagi orang jawa, china, sunda dan lainnya. Bahkan kita juga dapat bercermin dari mereka untuk mengenalkan bahasa kita pada orang lain dengan cara memberikan contoh pada setiap kata ketika kita bertemu, semisal ketika orang jawa membeli nasi pada orang madura, orang jawapun bertanya “Bu, beli nasi dua”, oarang madurapun menjawab “tidak ada kalau dua, tapi kalau duwek ada”, dari sinilah orang jawa dapat memulai belajar bahasa madura, dan mengerti kesamaan antara “dua” dan “duwek” memilki makna yang sama.
Mungkin tanya jawab antara orang jawa dan orang madura di atas sangatlah hal yang remeh bahkan mungkin banyak yang menganggap hal yang kecil, namun kebanyakan dari kita tak menyadari akan pentingnya hal yang kecil tersebut, berawal dari kecil sesuatu itu akan menjadi besar.
Karena bahasa memang berasal dari budaya serta kebiasaan. Maka, mempelajari bahasa memang sangat dianjurkan untuk selalu digunakan dalam keseharian, dan bercermin pada orang jawa dan orang madura di atas, bahwasanya kita dapat mengenalkan bahasa melalui keseharian kita, tak harus memiliki waktu tertentu, dimanapun kita berada dapat kita aplikasikan bahasa yang kita pakai untuk mengenalkannya.
Ada satu ungkapan  yang sangat populer sekali “Barang siapa memahami bahasa suatu kaum, dia akan selamat dari tipudaya mereka”, jika kita logika akan menghasilkan kesimpulan demikian “Barang siapa memahami bahasa suatu kaum, maka dia akan menguasai peradaban mereka, karena bahasa adalah simbol kebudayaan”.
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan diketahui Indonesia memiliki kurang lebih 743 bahasa. Dari jumlah itu, 442 bahasa sudah dipetakan oleh Badang pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Kita sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita setiap hari menggunakannya. Kita baru sadar akan pentingnya bahasa ketika kita menemui jalan buntu, misalnya ketika berupaya berkomunikasi dengan orang yang berbeda bahasanya, ketika sulit menerjemahkan suatu kata, frase, atau kalimat ke bahasa lain, terlebih ketika kita melakukan lamaran untuk memperoleh beasiswa ataupun pekerjaan.
Terkadang jika ada teman atau keluarga kita berbicara dalam bahasa yang berbeda, hal itu akan membuat komunikasi terganggu sehingga menciptakan suasana yang enggan dan ketidaknyamanan dalam hal berkomunikasi.

Jadi, marilah kita belajar pada orang madura untuk mengenalkan bahasa kita, mengenalkan dengan perlahan, berjalan, dan menggunakan dalam setiap pertemuan, karena dengan bahasa memudahkan kita untuk berinteraksi, berinterpretasi, dan mempecepat kemajuan karir.

JERITANKU

Kejijikan sperma
Asal mula diriku
Sel telur beradu
Terbentuknya daku
Sembilan bulan rahim  mengangkat
Hingga keluar bayi yang suci
Menangis...
Karena mulai melihat dunia
Syahduan suara adzan
Awal dari yang kudengar
Lingkungan yang agamis
Sebagai awal ajaran yang ku kenal
Hingga tumbuh dewasa
Menapaki lika liku kehidupan
Pandangan kebaikan
Selalu ku sandang
Namun kehinaan
Selalu ku rasakan
Aku bukan malaikat
Benar segala hal
Aku binatang
Yang tak punya malu
Rayuan ku dapati
Nafsu membelenggu
Topeng wajahku
Menyembunyikan jati diri
Teriris
Saat mereka memuji
Menangis
Saat mereka memanggilku manis
Ilalang datang
Namun tetap terbungkam
Segala pujian
Aku pendam dalam keseharian
Mereka memandangku cahaya
Mereka memangdangku emas
Mereka menganggapku berlian
Salah jeritku
Aku bukan cahaya, emas, dan berlian
Jangan pandang aku sebelah mata
Jangan pandang aku dengan wibawa
aku penuh kemaksiaatan
aku berlumur dosa
sebutlah aku
binatang liar, berhati busuk, dan bertingkah tengik


                                                                                                ,  Desember ‘12

Cahaya

Setitik sinar memberi kenangan
Kerlap kerlip menerpa wajah malam
Berjajar vertikal membentang jalan
Namun engkaulah yang sangat bersinar
Tertunduk sipu melepas senyuman
Terpancar cahaya menerpa wajah
Kaki melangkah menapaki bebatuan
Rumput bergoyang menerpa sang rembulan
Cahaya...         
Kau sembunyi di bilik pohon rindang
Kau bercermin di atas air sungai
Ranting sebagai atap pelindungmu
Akar sebagai pondasi kekuatanmu
Pantulan cahaya yang kau berikan
Merasuk darah melawan kabel tubuh
Membuka pintu awan penuh kegelapan
Kau berikan pancaran cahaya tuk meneranginya
Berkeliling mencari cela tuk memasukinya
Hingga awan menjadi terang secerah mentari pagi
Kini daku buka jendela otak
Melewati saraf merajuk dalam bayangan
Hingga daku bilang
Kaulah cahaya kalbuku
Kaulah sinar hatiku

                                                                                                ,  january ‘13

Lagi-lagi gagal

Lagi-lagi gagal
kala daku mulai semangat
lagi-lagi gagal
bibir terkatup mata terpejam
lagi-lagi gagal
taman menunggu matahari terbentang
lagi-lagi gagal
nafas tersenggal tubuh terjungkal
kaki tersandung ulah hati kesal
wajah cemberut kening mengerut
bersama kabut kicauan perkutut
gagal sungguh cobaan
gagal sungguh membingungkan
putus asa efek kegagalan
kesuksesan ulah kegagalan
lama-lama menciptakan kebosanan
tak ada obat yang mampu menyembuhkan
lagi-lagi gagal
sungguh aneh mengandung kesan
hikmah tersiram mengguyur badan
basah namun kering
itulah yang daku rasakan sekarang
lagi-lagi gagal
akan daku tuangkan pikiran
bersama hembusan angin terus menghilang
sekali lagi gagal
musuh selimut di balik udang
                                                                                               

                                                                                                ,  january ‘13

Tiga Pahlawan Desa

Rabu, 01 januari 2014, dalam acara silaturrahmi ke rumah salah seorang teman, menjadi pembelajaran dan pengalaman baru saya dalam mengawali tahun baru ini, mengambil liburan di suatu desa yang terletak di perbatasan jawa timur dengan jawa tengah, yakni desa pendem kabupaten magetan.
Berbeda dari liburan biasanya, kali ini lebih berkesan bagi saya. Tiga kisah realita kehidupan sebagai pembelajaran bagi orang-orang yang hidup di kota. Pertama, perjuangan salah seorang petani dalam memenuhi kebutuhannya dengan mempertahankan panen walaupun tak ada biaya, dia menawarkan buah mangga dari rumah ke rumah tanpa mengenal lelah. Sehingga buah mangga habis terjual tanpa sisa satupun. Kedua, perjuangan seorang pemuda dalam melawan penyakitnya. Hidrosevalus salah satu jenis penyakit yang dapat dikategorikan sebagai penyakit berbahaya, karena menurut informasi beberapa artikel para medis belum menemukan solusi dalam penyembuhan jenis penyakit ini, walaupun ada hanya mencegah saja serta membutuhkan biaya yang cukup besar, apa daya pemuda tersebut, terlahir dari keluarga pas-pasan, bahkan orang tua manapun tak mungkin diam saja melihat tubuh kurus dan hilang kesadaran dalam diri anaknya, usaha serta do’a  terus mereka lakukan, sawah terjual untuk biaya pengobatan, sehingga hanya tinggal rumah yang tersisa.
Selama enam bulan berjalan, tapi belum juga menuai hasil, pasrahpun akhir dari segala usaha. Namun, pada bulan berikutnya siapa sangka pemuda tersebut mulai membaik, layaknya bayi orang tua mengurusnya, hingga dia mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan kini seorang dokter pribadi mengakui bahwa tidak ada yang tak mungkin di dunia ini selama kita berusaha. Bahkan, pemuda tersebut kini lebih berfikir dewasa dalam menghadapi lika liku kehidupan dunia. Ketiga, perjuangan seorang siswi SMA dalam menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, dia harus berjalan ± 3 Km dengan jalanan naik turun tanpa aspal menuju jalan raya dan tanpa mengeluh dalam menjalankan kewajibannya. Mungkin faktor inilah salah satu penyebab kebanyakan anak desa lebih memilih kerja daripada melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Dari sinilah suatu pembelajaran dan pengalaman baru yang belum pernah saya dapatkan dari bangku kuliah, sesuai dengan kata pepatah arab bahwa siapa yang sungguh-sungguh, maka berhasillah ia, barang siapa bersabar maka beruntunglah ia. Dan ketiga orang di atas saya sebut sebagai tiga pahlawan desa.

Percayakah?

Bimbang...
Mungkin yang daku rasakan
Ragu...
Karena tak tahu akan kebenaran
Bohong...
Itulah awal kehancuran
Aduhai...
Benarkah bibir manisnya?
Setiap kata yang terucap
Bagai guntur menyambar dunia
Lantas...
Percayakah?
kala dirimu membohongiku
percayakah?
Setelah dirimu mengecewakanku
Aku terbungkam
Pikiranku  melayang
Hatiku terbang
Nuraniku menjerit
Sungguh kaulah...
Yang mampu melukai hatiku
Tak kan terobati
Hingga dikaulah yang kemari
Dengan kau ulur lengan tanganmu
Seraya keluar dari bibir manismu
“Maafkan daku teman/kasih”


                                                                                                ,   Januari ‘13

Pengaduan

Aku menangis dalam sengatan sang surya
Bersama kepulan asap kendaraan mengandung bahan kimia
Menyerang kesehatan dalam diri manusia
Berpolusi tak pernah tanggung jawab terhadap tingkahnya
Hiruk piuk kota globalisasi
Sungguh tajam
Iman laksana layang-layang
Akhlak berubah dalam sekitar lingkungan
Aku berjalan ditengah-tengah
Menapaki arus kehidupan laksana roda
Berkeliling sendiri
Tanpa seorangpun menemani
Teman bagiku semua sama
Dekat kala butuh
Sudah kian menjauh
Kini sirna semua kenangan
Lupa semua ingatan
Aku ingin menjadi kurcaci
Hidup sederhana penuh dengan kasih
Kecil rupa besar hati
Tak sombong namun selalu rendah diri
Aku banyak dosa
Aku banyak salah
Aku seorang yang hina
Aku seorang yang lemah
Begitu mudah aku percaya
Bibir manis otak pahit
Mata sayup hati kalut
Topeng rupa mulai beraksi
Sahabat bagiku sudah sirna
Cinta bagiku hanya mengadung luka
Nafsu membelenggu dalam setiap tingkah
Dan kini aku ingin kembali seperti dulu
Berusaha dan selalu berdoa pada Sang Pencipta
Tuk tabah dan sabar dalam mewujudkan cita-cita


                                                                                                Surabaya, 20 februari ‘13

Tahun baru tiba

Awan mencekam
Memberikan kegelisahan
Rerintikan air mengalir
Mambasahi seluruh alam
Suara alat tiup hilir bergantian
Bercampur dengan nyanyian kendaraan
Resah...
Gundah...
Gembira...
Senang...
Itulah kalbu sang cucu adam
Bumi menuah
Tak ada yang peduli
Tak ada yang mengerti
Apa yang ia rasakan
Ia menjerit dengan diamnya
Ia protes dalam kesendirinya
Ia hanya melirih dan menjerit
Nestapa kemurkaan yang terjadi
Sebuah protes dirinya tuk manusia
Namun semua terbungkam
Seakan tak merasakan
Sungguh tengik kau manusia
Umurku semakin tua
Tak kau hiraukan
Tak kau isi diriku dengan kebaikan
Namun kau isi diriku dengan penuh kemaksiatan
Hatimu tak kalah dengan binatang
Akalmu tak licik terserang rayuan
Aku menderita
Kau gembira
Suatu saat murkaku kan datang
Memberikan kesadaran
Kan ku terbangkan dirimu
laksana kapas tertiup angin
gelombang lautan kan mendukungku
langit dan isinya membantuku
kebiadabanmu
saat itu khan terjawab


                                                                                                            ,  Desember ‘12